Penulis:
Abdillah Toha
(Pengusaha, mantan politisi, pemerhati politik, ekonomi, sosial, dan keagamaan. Pendiri dan Komisaris Utama Grup Mizan)
Apakah mengunggah emosi dan sentimen keagamaan adalah cara yang tepat untuk mempercepat perbaikan nasib bangsa?
Rabu, 30 Januari 2019
Sudah sejak 2014 sampai sekarang ada sebagian Muslim yang meyakini bahwa pemerintah yang sekarang tidak bersahabat dengan Islam. Bahkan dikatakan memusuhi Islam. Puncaknya terjadi pada 2017 dalam pemilu gubernur DKI. Saaat ini dimunculkan kembali menjelang pilpres April nanti.
Sebagai negeri dengan penduduk muslim terbesar di dunia, negeri ini boleh dibilang sebagai negeri yang paling depan dalam memberikan kebebasan penuh
untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinan masing-masing.
Di negeri ini ada tidak kurang dari 800.000 masjid. Tiap tahun pemerintah mengurus tidak kurang dari 200.000 orang untuk beribadah haji. Belum lagi ratusan ribu yang beribadah umroh dengan pengurusan yang makin hari makin lebih baik dalam pelayanannya. Ribuan pesantren dan madrasah bertebaran di negeri ini dengan dukungan pemerintah. Tidak ada larangan atau sensor apapun untuk khotbah atau berdakwah.
Pengajian dan majelis-majelis Islam makmur di dimana-mana tanpa campur tangan pemerintah. Tausiyah, istighosah, serta kumpulan dan pertemuan-pertemuan besar Muslim dibolehkan, meski kadang-kadang mengganggu ketertiban umum. Ada kementerian khusus urusan agama yang memastikan bahwa kesejahteraan umat terurus dengan baik. Masjid-masjid mengumandangkan azan dengan pengeras suara yang kadang-kadang berlebihan tanpa dihentikan oleh pemerintah.
Di luar ormas Islam besar seperti Muhammadiyah dan NU ada ribuan organisasi dan perkumpulan Islam lain yang bebas bergiat tanpa ada pembatasan dari pemerintah. Ribuan siswa muslim berangkat ke luar negeri untuk memperdalam ilmu keislaman ke Mesir, Saudi, Yaman, Irak, dan tempat-tempat lain bahkan ke Eropa dan Amerika tanpa perlu mendapatkan izin khusus dari pemerintah. Dai-dai dari luar negeri bebas berdatangan ke negeri ini untuk melakukan dakwah tanpa izin. Hari-hari besar Islam dihormati dan dirayakan dengan memberi liburan nasional. Tidak ada buku-buku Islam yang disensor atau dilarang beredar kecuali yang dianggap dapat mengganggu keamanan. Jadi apa sebenarnya yang dianggap sebagai anti Islam?
Perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam seperti perzinahan, perjudian, monopoli, menimbun barang, dan sejenisnya dilarang di negeri ini. Pengadilan agama diadakan khusus untuk umat Islam bagi mengurus kepentingan muslim seperti perkawinan, perceraian, harta waris dan lainnya. 90 perrsen yang menduduki jabatan pemerintah maupun yang berada di lembaga-lembaga tinggi negara seperti DPR Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan lain-lain adalah mereka yang beragama Islam. Jadi apalagi yang dituntut kepada pemerintah untuk lebih berpihak kepada muslim?
Apakah larangan mendirikan negara di dalam negara seperti yang ada dalam konsep khilafah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dianggap sebagai kebijakan anti Islam? Bukankah sebagian besar negeri-negeri berpenduduk Islam juga melarang organisasi sejenis itu? Apakah menghukum dan memproses secara hukum ulama serta ustad atau ahli agama yang melanggar atau diduga melanggar hukum dianggap sebagai mendzolimi Islam? Apakah ulama dan ustadz berada di atas hukum?
Apakah memberi kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya bertentangan dengan Islam? Apakah berdagang dengan asing dan membolehkan asing menanam modalnya di negeri ini bertentangan dengan hukum Islam? Apakah ada bagian dari ideologi negara Pancasila yang menjadi kesepakatan bersama kita sejak berdirinya negara ini berseberangan dengan Islam? Apakah untuk menjadi lebih Islam itu harus dilakukan dengan sekadar mengibar kibarkan apa yang disebut sebagai bendera tauhid? Atau dengan berteriak takbir sekuat tenaga? Atau dengan menentang setiap warga negara non Muslim untuk menduduki jabatan negara?
Jadi memang ketika sebagian ustad berkhotbah dan menggiring Muslim awam untuk berdemo atau menuntut perubahan, tidak pernah jelas apa sebenarnya yang dianggap kurang Islami. Apakah dugaan penguasaan ekonomi oleh etnis tertentu dilihat sebagai anti Islam? Bila benar, bukankah hal ini tidak ada hubungannya dengan agama tetapi barangkali lebih kepada pengambilan kebijakan yang kurang tepat sejak lama dan bukan baru terjadi pada pemerintahan sekarang?
Bukankah mencampuradukkan tuntutan yang legitimate dengan bahasa agama justru akan mengaburkan tuntutan itu sendiri? Apalagi menyebut diri sebagai mujahid seakan sedang berada dalam keadaan perang melawan musuh Islam. Tidakkah para pemrakarsa yang menggiring massa itu sadar bahwa mengaduk aduk sentimen dan emosi keagamaan berakibat rapuhnya massa terhadap kemungkinan ditunggangi oleh aktor-aktor yang sedang berupaya meraih tujuan-tujuan pribadi atau kelompok yang belum tentu Islami? Lebih berbahaya lagi bila para penunggang itu memanggil kekuatan dari luar untuk
mendukungnya seperti yang terjadi di Timur Tengah dengan akibat hancur berantakannya negeri-negeri itu.
Karena sebagian besar penduduk Indonesia adalah Muslim maka harus diakui bahwa sebagian besar Muslim di negeri kita masih belum mencapai tingkat kesejahteraan seperti yang dicita citakan oleh para pendiri bangsa ini. Namun demikian, apakah mengunggah emosi dan sentimen keagamaan adalah cara yang tepat untuk mempercepat perbaikan nasib bangsa. Cara ini justru bisa membuat kita mundur, merusak hasil yang sudah dicapai, dan memulai dari nol lagi dan korban terbesarnya adalah manusia-manusia yang digiring itu yang polos dan percaya kepada penggiringnya.
Kasihan, banyak orang biasa yang tersesatkan jalan pikirannya oleh ustadz-ustadz yang bernafsu untuk mendapatkan perhatian. Bila harus menggunakan semangat keagamaan maka yang didorong seharusnya bukan emosi tetapi nalar dan nilai-nilai keagamaan yang positif melalui dakwah dan pendidikan agama yang benar yang mengedepankan peningkatan kecerdasan dan keterampilan, kebersamaan, kemajuan, kerja keras, dan percaya diri.
Sumber