Pembalakan liar (illegal logging) merupakan penebangan kayu secara tidak sah dan melanggar peraturan perundang-undangan, yaitu berupa pencurian kayu di dalam kawasan hutan Negara atau hutan hak (milik) dan atau pemegang izin melakukan penebangan lebih dari jatah yang telah ditetapkan dalam perizinan.
Dari sisi ekonomi, pembalakan liar yang telah terjadi menyebabkan kerugian dalam keuangan negara, yaitu mengurangi penerimaan devisa negara dan pendapatan negara. Karena menjanjikan keuntungan yang sangat besar, illegal logging kini marak terjadi di Indonesia.
Seperti halnya yang terjadi di wilayah Jawa Timur, khususnya di wilayah Kabupaten Malang. Tim Reclasseering Indonesia (RI) dan media nawacitalib.com menemukan adanya tumpukan kayu sonokeling yang diduga kuat ialah kayu hasil hutan yang bermitra dengan masyarakat serta kayu hasil penebangan di jalan raya. Kayu tersebut ditemukan di lahan kosong yang berada di Desa Taman Satriyan Kecamatan Tirtoyudo.
Ketika diklarifikasi, si pemilik kayu tersebut inisial (MS/RD) mengatakan bahwa kayu tersebut bukanlah kayu hasil hutan, melainkan kayu yang dibeli dari masyarakat dan lahan masyarakat itu sendiri.
Namun, menurut narasumber yang enggan disebut namanya mengatakan, bahwa MS/RD sering bekerjasama dengan oknum yang curang yang biasa mengawal pembalakan liar kayu sonokeling di sekitar jalan raya provinsi dan jalan raya kabupaten.
Ditelusuri lebih lanjut, ternyata pihak Desa memberikan surat SPPT kepada penebang dengan beralibi kayu yang berada di dalam kawasan lahan hutan tersebut ialah kayu yang berada di lahan masyarakat. Alibi lain, sebagian kayu dibeli dari masyarakat untuk menyamarkan kayu-kayu yang sudah diambilnya dari kawasan hutan dan Binamarga.
Kelengkapan surat-suratnya pun ternyata tidak memenuhi standar pemotongan kayu, seperti tidak adanya surat izin angkut, surat ijin dari BKSDA, surat pengajuan lelang yang telah ditetapkan pemerintah, serta tidak adanya surat-surat lain yang wajib dilengkapi.
Ketidakadilan dan kecurangan-kecurangan ini akan terus berlanjut jika tidak ada sikap tegas kepada para pelaku illegal logging, karena pihak perhutani dan Binamarga pun diduga ikut terlibat di dalamnya.
Jika saja kayu sengon yang hilang, pihak perhutani akan mengejar sampai ke akar-akarnya, namun jika kayu-kayu sonokeling yang bernilai lumayan mahal seperti ini, pihak perhutani malah memilih silent. Atau memang kehilangannya disengaja oleh pihak perhutani yang diduga 'ada main' dengan para cukong kayu.
Laporan kayu hilang tidak hanya di kawasan hukum Dampit, Tirtoyudo dan Ampelgading saja. Banyak warga yang bermitra dengan hutan yang mengaku resah akan hilangnya kayu sonokeling, namun pihaknya tidak berani melaporkan karena pihak perhutani mengklaim bahwa peta itu masuk ke lahan milik perhutani. Sedangkan kayu sonokeling yang berada di peta-peta kawasan hutan yang bermitra dengan masyarakat juga banyak yang hilang.
Kayu sonokeling milik Binamarga pun juga diketahui banyak yang ditebang secara liar, di wilayah Pagak, Turen, Gondanglegi, di Kepanjen depan Rumah Sakit, serta di wilayah Sumberpucung hingga Blitar.
Beralih ke kabupaten lain, di wilayah Kabupaten Blitar pun juga dikabarkan adanya kayu sonokeling milik Binamarga yang raib, tepatnya di sebelah Bulog Blitar. Menurut keterangan saksi, ada tiga truk yang diketahui berisi kayu sonokeling tersebut. Tim Reclasseering Indonesia (RI) mengatakan, ada beberapa kayu tersebut yang disimpan di kantor Binamarga Kabupaten Malang, untuk mengelabuhi pengecekan aset. Sementara dua truk lain diduga dibawa ke wilayah Tirtoyudo dan Dampit. Nopol truknya pun juga sempat dicatat oleh Tim Reclasseering Indonesia (RI) saat melakukan investigasi di Blitar, yang pada saat itu dijadikan dokumen foto.
Di Kabupaten Tulungagung serta Kabupaten Probolinggo pun juga banyak laporan hilangnya kayu sonokeling di jalan raya. Seseorang berinisial J dari Probolinggo yang diketahui membawa kayu tersebut ke wilayah Kabupaten Malang, diduga membawa kayu ilegal tersebut ke wilayah Kecamatan Tirtoyudo dan Kecamatan Dampit.
Pembalakan liar biasanya terjadi karena adanya kerjasama antara masyarakat lokal yang berperan sebagai pelaksana di lapangan, dengan para cukong yang bertindak sebagai pemodal yang akan membeli kayu-kayu hasil tebangan tersebut.
Untuk mengatasi maraknya tindak pidana pembalakan liar, jajaran aparat penegak hukum (penyidik Polri maupun penyidik PPNS yang lingkup tugasnya bertanggungjawab terhadap pengurusan hutan, Kejaksaan maupun Hakim) telah mempergunakan Undang-undang no 41 tahun 1999 yang diubah dengan Undang-undang no 19 tahun 2004, dimana kedua undang-undang tersebut mengatur tentang kehutanan yang digunakan sebagai instrumen hukum untuk menanggulangi tindak pidana pembalakan liar.
Sesuai dengan pasal 78 UU no 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, illegal logging termasuk kejahatan ekonomi dan lingkungan karena menimbulkan kerugian material bagi negara serta merusak lingkungan/ekosistem hutan dan dapat dikenakan sanksi pidana dengan ancaman kurungan paling lama 10-15 tahun dan denda paling banyak Rp 5-10 miliar.
Aktivitas pembalakan liar (illegal logging) saat ini berjalan dengan lebih terbuka, transparan dan banyak pihak yang terlibat dan memperoleh keuntungan dari aktivitas pencurian kayu, modus yang biasanya dilakukan adalah dengan melibatkan banyak pihak. Pada umumnya, mereka yang berperan adalah buruh/penebang, pemodal (cukong), penyedia angkutan dan pengaman usaha (seringkali sebagai pengaman usaha adalah dari kalangan birokrasi, aparat pemerintah, dan oknum-oknum). Praktek pembalakan liar adalah pengusaha melakukan penebangan di bekas areal lahan yang dimiliki maupun penebangan diluar jatah tebang (over cutting) dan adakalanya
pembalakan liar (illegal logging) dilakukan melalui kerjasama antara perusahaan pemegang izin Hak Pengelolaan Hutan (HPH) dengan para cukong. Seringkali pemegang izin meminjamkan perusahaannya untuk mengikuti lelang kayu sitaan kepada pihak cukong yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan perusahaan tersebut.
Pelaku pembalakan liar terdiri atas dua kategori, yakni pelaku aktif dan pelaku pasif. Pelaku aktif adalah individu atau korporasi yang secara aktif melakukan pekerjaan dari pembiayaan, pemotongan, hingga pengiriman atau penjualan hasil pembalakan liar.
Sedangkan yang kategori pelaku-pelaku pasif ialah pihak-pihak yang memberikan izin kepada individu atau korporasi yang pada akhirnya melakukan pembalakan liar dengan memanfaatkan izin tersebut.
Pihak-pihak tertentu ini punya peran yang signifikan dalam memperlancar praktek pembalakan liar. Yang masuk juga sebagai pelaku pembalakan liar pasif adalah pihak (pejabat dan/atau aparat hukum) yang menerima pembayaran, kompensasi, dan suap dari pelaku aktif terkait dengan aktifitas ilegalnya.
Pelaku pembalakan liar sesungguhnya dapat dijerat sebagai pelaku tindak pidana korupsi, sebagaimana diatur dalam UU no 31 tahun 1999 jo UU no 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Perangkat hukum seperti KUHP Pasal 50 Pasal 55, Pasal 56 dan Pasal 178 dan UU Nomor 41 Tahun 1999 dengan sanksi Rp 5 miliar atau dipenjarakan selama 10 tahun sudah cukup efektif untuk menjerat para pemilik, penyimpan, dan pembeli kayu namun perangkat hukum tersebut belum dapat diterapkan secara optimal dan konsekuen untuk mengatasi pembalakan liar karena masih lemahnya penegakan hukum.
Mengenai program kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 2020, menuai kegembiraan di masyarakat, namun tidak menutup kemungkinan pembalakan-pembalakan liar kayu hutan masih tetap berjalan jika tidak ditindak secara tegas.
Reaksi Kapolsek Tirtoyudo sangat cepat dan tanggap ketika mendengar kabar adanya penyimpanan kayu yang diduga ilegal tersebut, anggota jajarannya langsung diperintahkan turun ke lapangan untuk mengecek kayu tersebut.
Ketika ditemui oleh Tim Reclasseering Indonesia (RI) dan media nawacitalib.com, Kapolsek Tirtoyudo mengatakan bahwa pihaknya masih menunggu proses penyidikan yang dilakukan oleh Polres Malang terkait dugaan pembalakan kayu hutan dan kayu milik binamarga tersebut. ***