TAKALAR - Penangkapan seorang wartawan media online berinisial R (30) oleh Polres Enrekang menimbulkan reaksi keras dari LSM bernama Aliansi Wartawan dan LSM Anti Kriminalisasi (11/2/2021).
"Polisi seharusnya menggunakan UU No 40 tentang Pers, jika terjadi perselisihan dalam sebuah pemberitaan, bukan menggunakan KUHP, ada mekanismenya jika berkaitan dengan pemberitaan, jangan mentang mentang yang melapor itu pihak penguasa, lantas serta merta melakukan penangkapan, ingat polisi itu bukan alat kekuasaan, tapi alat negara," ujar Dirman Dangker, seorang peserta aksi protes.
Anggreany Haryani Putri pakar ilmu pidana Divisi Hukum Warta Sidik juga sebagai bendahara "SAI" Peradi di Bekasi mengatakan, UU Pers menjadi hukum materil (berkaitan hukuman) sedangkan KUHAP (hukum formil) berkaitan dengan bagaimana hukum materil bisa diterapkan.
UU Pers merupakan lex specialis terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). Sehingga, apabila terdapat suatu permasalahan yang berkaitan dengan pemberitaan pers, peraturan perundang-undangan yang digunakan adalah UU Pers. Selain itu menurut mereka, dalam menjalankan kegiatan jurnalistiknya, wartawan tidak dapat dihukum dengan menggunakan KUHP sebagai suatu ketentuan yang umum (lex generali).
Adapun mekanisme-mekanisme yang dapat ditempuh: Melalui pemenuhan Hak Jawab dan Hak Koreksi. Hak Jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. Sedangkan Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberikan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
Dalam hal ini, pers wajib melayani hak jawab dan hak koreksi.
Hak Jawab dan Hak Koreksi dapat dilakukan juga ke Dewan Pers. Salah satu fungsi Dewan Pers adalah memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. Pertimbangan yang dimaksud tersebut menurut Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU Pers adalah yang berkaitan dengan Hak Jawab, Hak Koreksi, dan dugaan pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik.
Seperti dilansir oleh Rakyatsulsel wartawan tersebut ditangkap karena diduga menyebarkan informasi yang menimbulkan kebencian dan permusuhan melalui media online, yang memuat penghinaan dan pencemaran nama baik terhadap Bupati Enrekang, Drs. Muslimin Bando, M.Pd. Akibatnya orang nomor satu di Kabupaten Enrekang itu langsung melapor ke polisi dan menangkap pelaku R beberapa hari lalu.
Iwan Surya, anggota Jurnalis Online Indonesia (JOIN) Takalar, mengatakan, Polres Enrekang tidak boleh serta merta menangkap wartawan apalagi kasusnya menyangkut soal pemberitaan.
“Apabila Bupati Enrekang terganggu atau merasa dirugikan dengan bentuk pemberitaan media maka lakukan hak jawab, yang kedua laporkan ke dewan pers, bukan lapor ke polisi,” tegas Iwan.
Ia menyampaikan, kebebasan pers memang tidak mudah untuk dicapai, karena masih banyak yang mesti di lakukan oleh pers itu sendiri.
“Kita tidak hanya bekerja membuat berita, tetapi yang harus diperhatikan bahwa pers memiliki tugas memberikan pengetahuan terhadap masyarakat, terutama cara penyelesaian permasalahan terhadap media,” katanya.
Selain itu, Iwan juga meminta kepada Kapolda Sulsel untuk mencopot Kapolres Enrekang, AKBP Andi Sinjaya Ghalib, dan Kasat Reskrim Polres Enrekang, agar kasus serupa tidak terjadi lagi di kemudian hari,” tutup Iwan. ***
Baca juga: